Oleh : Zainal mustofa
Dusen pengampu: Sumarjoko S.H.I.,
M.S.I
AL- MANTUQ WA AL- MAFHUM
PENDAHULUAN
Bismillahirrokhmanirrokhim…. Segala puji
bagi allah yang telah memberikan akal dan fikiran kepada kita untuk dapat berfikir
dan berangan angan tentang kekuasaanya,sehingga menumbuhkan rasa keyaqinaan dan
meningkatkan rasa keimanan kita kepadanya. betapa besar dan luasnya kekuasaan
allah swt dan betapa sedikitnya ilmu kita dan betapa maha tingginya allah yang
telah menciptakan dan mengatur alam beserta isinya.
A. Latar
Belakang masalah
Ketika kita berbicara mengenai ayat-ayat yang
terkandung di dalam Al-Quran, sebenarnya dari semua ayat yang ada didalam
Al-Quran tersebut tidak semuanya memberikan arti dan pemahaman yang jelas
terhadap kita. Jika kita mau telusuri, ternyata banyak sekali ayat-ayat yang
masih butuh penjelasan yang lebih mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam
ayat tersebut.
Sebagai sumber hukum
Islam, tidak dibenarkan jika memahami Al-Qur’an hanya dengan mengandalkan
pemahaman teks belaka. Dibutuhkan juga pemahaman yang lebih dari sekedar teks.
Dalam ilmu tafsir kita akan menemukan sebuah pembahasan tentang mafhum dan
mantuq. Mengingat teks Al-Qur’an tidak serta merta memberi makna yang
jelas tentang apa yang dikandungnya, para mufassir membuat pembahasan ini untuk
mempermudah kita memahami kandungan teks.
Jika kita meneliti
ayat-ayat Al-Qur’an, akan kita temukan beberapa ayat yang memberikan pemahaman
secara langsung dan jelas, jugaada ayat yang maknanya tersirat didalam ayat
tersebut. Oleh karena itu, agar kita semua memahami dan mengetahui hukum/makna
yang terdapat didalam ayat-ayat Al-Quran, saya akan memaparkan sedikit
penjelasan mengenai pengertian, pembagian, contoh dari mantuq dan mafhum
serta kehujahannya.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa definisi
mantuq dan mafhum?
2. Bagaimama
contoh dan pembagiannya?
3. Bagaimana
kehujjahan mantuq dan mafhum.
PEMBAHASAN
A.
Mantuq dan Pembagiannya
Mantuq secara bahasa
adalah “sesuatu yang diucapkan”, sedangkan
menurut istilah yaitu pengertian harfiah atau makna yang ditunjukkan oleh
lafadz yang diucapkan itu sendiri. Pada dasarnya mantuq itu dibedakan berupa
nash dan zahir.
Kalangan ulama Syafi’iyah[1][1], dilâlah lafal nash dibagi kepada dua macam, yaitu dilâlat al-mantûq
(دلالـة الـمـنطوق) dan dilâlat
al-mafhûm دلالـة الـمـفـهـوم)). Yang
dimaksud dengan dilalat al-mantuq[2][2] ialah :
دلالـة الـمـنطوق هى دلا لـة اللـفـظ عـلى حـكـم شـئ ذكـر فى الـكلآ م
ونـطـق بـه.
“Dilalat al-mantuq ialah
penunjukkan lafal nash atas suatu ketetapan hukum (pengertian) sesuai
dengan apa yang diucapkan dan dituturkan langsung oleh lafal.”
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa dilâlat
al-mantûq ialah suatu ketetapan hukum yang dapat dipahami dari penuturan langsung lafal nash secara
tekstual. Sebagai contoh dapat dilihat pada Q.S An-Nisa’ (4): 23:
اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ
نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ
“… Diharamkan bagi kamu (menikahi)
anak-anak tiri yang berada dalam asuhan kamu dari isteri-isteri yang telah kamu
gauli…”
Berdasarkan ayat ini dapat dipahami bahwa mantuq-nya
ialah menunjukkan secara jelas bahwa haram menikahi anak-anak tiri yang berada
dalam asuhan suami dari isteri-isteri yang sudah digauli. Dilãlat al-mantûq
dibagi kepada dua macam, yaitu; mantûq sarih dan mantuq gairu sharih.
1. Mantûq Sarih
Menurut Wahbah Zuhaili[3][3]
yang dimaksud dengan mantûq sharih
ialah penunjukkan lafal nash yang jelas secara langsung tercakup dalam ungkapan
lafal nash. Manthuq syarih dalam istilah ulama Syafi’iyah ini adalah apa yang
di istilahkan dengan dilalah ibarah dalam pengertian ulama Hanafiyah.[4][4]
a. Nash
Adalah lafadz yang
bentuknya telah dapat menunjukkan makna yang secara tegas dan tidak mengandung
kemungkinan makna lain. Seperti firman Allah swt. dalam
Surat al-Baqarah: 196
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ
أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ
“Maka wajib berpuasa 3
hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi
apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna.”
Tujuan utama dari mantuq
nash ialah kemandirian dalam menunjukkan makna secara pasti.[6][6]
b.
Zahir
Adalah suatu perkara yang
menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan, tetapi
disertai kemungkinan makna lain yang lemah. Seperti firman Allah swt dalam Q.S. al-Baqarah: 173
إِنَّمَا حَرَّمَ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ
لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ
وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. tetapi Barangsiapa dalam
Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”
2. Mantûq Ghairu Sarih
Mantuq gairu sharih ialah penunjukkan lafal nash yang tidak jelas.
Dan terbagi menjadi 3 macam:
a.
Dalalat al-Ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan
langsung oleh suatu lafal, tetapi melalui pengertian logisnya karena
memyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut suatu sifat atau peristiwa.
Misalnya, hadits yang
riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مِنْ أَحْيَ أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ {رواه الترمذى}
“Dari Jabir bin
Abdillah, dari Nabi Muhammad saw. bersabda: Barangsiapa yangmenghidupkan (mulai
mengelolah) tanah yang sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” ( HR. At-Tirmidzi)
Hadits tersebut di
samping menunjukkan hukum melalui mantuqnya seperti yang jelas tertulis, juga
melalui dalalat al-ima’nya, yaitu bahawa aktivitas menghidupkan tanah mati
itulah yang menjadi illatnya bagi pemilikan tanah untuknya.[7][7]
b.
Dalalat al-Isyarah adalah suatu pengertian yang ditunjukkan oleh
suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian
atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu.
Contohnya dalam surat
Al-Luqman ayat 14:
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ
حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
“Dan kami perintahkan
kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam
dua tahun”[8][8]
c.
Dalalat al-Iqtida’ adalah pengertian kata yang disisipkan secara
tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipaami secara
lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu.
Contohnya sebuah hadits
Rasulullah menjelaskan:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِ يٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى
اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا
اسْتَكْرِهُوَا عَلَيْهِ {رواه ابن ماجه}
“Dari Abu Dzar
al-Ghiffari berkata, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah mengangkat
dari umatku tersalah, lupa dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut secara
jelas menunjukkan bahwa tersalah, lupa dan keterpaksaan diangkatkan dari umat
Muhammad saw. pengertian tersebut sudah jelas ridak lurus, karena bertentangan
dengan kenyataan. Untuk meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat
kata al-ism (dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga demikian arti hadits menjadi
: diangkatkan dari umatku (dosa atau hukum) perbuatan tersalah, karena lupa
atau karena keterpaksaan.[9][9]
B.
Mafhum dan Pembagiannya
Mafhum secara bahasa adalah
sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan menurut istilah adalah
“pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau pengertian
kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah).
Tegasnya, dilālat al-mafhūm itu
adalah penunjukkan lafal nash atas suatu ketentuan hukum yang didasarkan atas
pemahaman dibalik yang tersurat.
Contohnya
Q.S al-Isra’ ayat 23:
فَلا
تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا
“Jangan
kamu mengucapkan kepada kedua ibu bapakmu ucapan “uf” dan janganlah kamu
membentak keduanya”.
Hukum yang tersurat dalam ayat tersebut
adalah larangan mengucapkan kata kasar “uf” dan menghardik orang tua. Dari ayat
itu juga dapat dipahami adanya ketentuan hukum yang tidak disebutkan (tersirat)
dalam ayat tersebut, yaitu haramnya memukul orang tua dan perbuatan lain yang
menyakiti orang tua.
Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum
muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
1.
Mafhum Muwafaqah
Adalah suatu petunjuk
kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku
pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan
masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Disebut mafhum
muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis.
Mafhum muwafaah dibagi menjadi dua bagian:[10][10]
a. Fahwal Khitab, yaitu
apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan.
Contohnya firman Allah
swt dalam QS. Al-Isra’ ayat 23:
فَلا
تَقُلْ لَهُمَا
أُفٍّ
“Janganlah kamu mengatakan kata-kata keji kepada dua orang
ibu bapakmu.”
Sedangkan kata-kata keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.
b. Lahnal Khitab,
yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan.
Seperti firman Allah
swt.:
إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ اٌلْيَتَمَى ظُلْمًا
إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِى بُطُوْنِهِمْ نَارًاصلى وَسَيَصْلَوْنَ
سَعِيْرًا
“Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya
memakan api kedalam perut mereka”.
Membakar atau setiap cara
yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak
yatim, yang berartti dilarang (haram).
2. Mafhum mukhalafah
Adalah pengertian yang
dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi
(meniadakan). Oleh karena itu, hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada
bunyi lafal yang diucapkan. Seperti dalam firman Allah swt pada QS. al-Jum’ah ayat 9:
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Apabila kamu
dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu
mengerjakan dan tinggalkan jual beli.”
Dapat dipahami dari ayat
ini, bahwa boleh jual beli di hari jum’at sebelum adzan si mu’adzin dan sesudah
mengerjakan sholat.
Mafhum mukhalafah sendiri terbagi menjadi :
a. Mafhum al-Washfi (pemahaman dengan sifat) adalah
petunjuk yang dibatasi oleh sifat, menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu
sifatnya.
Dalam mafhum sifat
terdapat tiga bagian, yaitu mushtaq, hal (keterangan keadaan) dan ‘adad
(bilangan). Misalnya pada sabda
Rasulullah saw.:
فِي السَّائِمَةِ زَكاَةِ
“para binatang yang
digembalakan itu ada kewajiban zakat”
Mafhum mukhalafahnya adalah binatang yang diberi makan, bukan yang
digembalakan.[11][11]
Mafhum sifat ada 3 macam:
1) Mustaq dalam ayat.
Contohnya dalam QS. Al-Hujarat ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ
فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا
عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti
agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dapat dipahami dari
ungkapan kata ‘fasiq’ ialah orang yang tidak wajib ditelliti beritanya. Ini
berarti bahwa berita yang disampaikan oleh seseorang yang adil wajib diterima.
2) Hal (keterangan keadaan)
Seperti fiman Allah, QS.
Al-Maidah ayat 95:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا
فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ
هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ
ذَلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ
عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram.
Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah
mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya,
menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu sebagai had-yad yang dibawa
sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makanan
orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu,
supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa
yang telah lalu dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan
menyiksanya, Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.”
Ayat ini menunjukkan
tiadanya hukum bagi orang yang membunuhnya karena tak sengaja. Sebab penentuan
“sengaja” dengan kewajiban membayar denda dalam pembunuhan binatang buruan
tidak sengaja.
3) ‘Adad (bilangan)
Seperti firman Allah
dalam QS. Al-Baqarah ayat 197:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ
فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ
الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الألْبَابِ
“(Musim) haji adalah
beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan
itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasikh dan
berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji dan apa yang kamu kerjakan
berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan sesungguhnya
sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang
berakal.”
Mafhumnya ialah melakukan ihram diluar bulan-bulan itu
tidak syah.
b. Mafhum illat adalah
menghubungksn hukum sesuatu karena illatnya. Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.[12][12]
c. Mafhum ghayah (pemahaman
dengan batas akhir) adalah lafal yang
menunjukkan hukum sampai pada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafal ghayah ini ada kalanya dengan “illa”
dan dengan “hatta’. Seperti dalam
firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 6:
اِذَا قُنْتُمْ اِلىَ الصَّلَوةِ فاَغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ
واَيْدِيَكُمْ أِلىَ الْمَرَافِقِ....
“bila kamu hendak
nmengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada siku”.
Mafhum mukhalafahnya adalah membasuh tangan sampai kepada siku.
d. Mahfum laqaab (pemahaman dengan julukan) adalah menggantungkan hukum kepada isim alam atau
isim fiil. Seperti firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
e. Mafhum hasr adalah pembatasan. Seperti dalam
firman Allah swt.:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya Engkaulah yang kami
sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”
Mafhum mukhalafahnya adalah bahwa selain Allah tidak disembah dan
tidak dimintai pertolongan. Oleh karrena itu, ayat tersebut menunjukkan bahwa
hanya Dia-lah yang berhak disembah dan dimintai pertolongan.[14][14]
f.
Mafhum syarat , adalah
petunjuk lafadz yang memberi fadah adanya hukum yang dihubungkan dengan syarat
supaya dapat berlaku hukum yang sebaliknya. Seperti
dalam surat al-Thalaq ayat 6:
...وَإِنْ كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ...
“...Dan jika mereka
(istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mererka nafkahnya.”
Mafhum mukhalafahnya adalah istri-istri tertalak itu tidak sedang
hamil, tidak wajib diberi nafkah.[15][15]
C. Kehujjahan
Mantuq sudah jelas bisa dijadikan hujjah, karena
lafalnya yang jelas. Begitu juga dengan mafhum muwafaqah. Para ulama’
bersepakat, bahwa semua mafhum bisa dijadikan sebagai hujjah
kecuali mafhum laqaab. Hal ini disebabkan karena penyebutan isim
‘alam atau isim jenis itu sekedar untuk penyebutan adanya hukum
padanya bukan untuk membatasi atau mengkhususkan berlakunya hukum padanya saja.
Oleh karena itu, dalam hal ini tidak dapat diberlakukan hukum sebaliknya,
kecuali jika ada dalil lain yang menentukannya. Seperti firman Allah : “Muhammad
adalah utusan Allah.”
Ayat tersebut jika
diambil mafhum mukhalafahnya akan memberikan pengertian bahwa selain
Nabi Muhammad addalah utusan Allah. Inii jelas bertentangan dengan nash
yang ada.
Berhujjah dengan mafhum
masih diperselisihkan. Menurut pendapat yang paling shahih, mafhum-mafhum
tersebut boleh dijadikan hujjah (dalil,
argumentasi) dengan beberapa syarat, antara lain:[16][16]
a.
Apa yang disebutkan bukan dalam
kerangka “kebiasaan” yang umum. Misalnya “yang ada dalam pemeliharaanmu”
dalam QS. An-Nisa’ :23 yang artinya “... dan anak-anak perempuan dan
istri-istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu...”, ini tidak ada mafhumnya
(maksudnya ayat ini tidak dapat dipahami bahwa anak tiri yang tidak dalam
pemeliharaan ayah tirinya boleh dinikahi), sebab pada umumnya anak-anak
perempouan istri kitu berada dalam pemeliharaan suami.
b.
Apa yang disebutkan itu tidak untuk
menjelaskan suatu realita. Seperti firman Allah QS. Al-Mu’minin: 117 ; yang
artinya “ Dan barangsiapa menyembah Tuhan yang lain di samping Allah, padahal
tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungan di
sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.”
Dalam kenyataannya Tuhan
manapun selain dari Allah tidak ada dalilnya. Jadi kata-kata “ padahal tidak
ada satu dalilpun baginya tentang itu” adalah suatu sifat yang pasti yang
didatangkan untuk memperkuat realita realita dan untuk menghinkan orang yang
menyembah Tuhan di samping Allah, bukan untuk pengertian bahwa menyembah
Tuhan-tuhan itu boleh asal dapat ditegakkan dalilnya.
KESIMPULAN
Dari berbagai pembahasan
yang telah kami paparkan diatas dapat disimpulkan bahwasannya: Mantuq secara
bahasa adalah “sesuatu yang diucapkan”, sedangkan menurut istilah yaitu pengertian harfiah yang
ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu sendiri. Manthuq sendiri terbagi
menjadi nash, zahir dan mu’awwal. Sedangkan Mafhum secara bahasa adalah
sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan menurut istilah adalah
“ pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau
pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum
mukhalafah). Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum muwafaqah
dan mafhum mukhalafah. Dalam mafhum muwafaqah terdapat (fahwal khitab
dan lahnal khitab). Sedangkan dalam Mafhum mukhalafat terdapat (mafhum
al-washfhi, illat, ghayah, laqaab, hasr dan syarat).
Mantuq dan mafhum muwafaqah dapat dijadikan
sebagai hujjah, namun untuk mafhum mukhalafah terdapat pengecualian.
Yaitu mafhum laqab yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Wallahu a’lam
Bishowab……
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu
Ushul Fiqih Kaidah Hukum Islam. Cetakan pertama. Jakarta : Pustaka Amani,
2003.
Syafe’i, Rachmat. Ilmu
Ushul Fiqih. Cetakan keempat. Bandung : CV. Pustaka Setia, 2010.
Karim, Asyafe’i. Fiqih
Ushul Fiqih. Cetakan kedua. Bandung : CV Pustaka Setia, 2001.
Tim Penyusun. Studi
Al-Qur’an. Cetakan pertama. Surabaya : IAIN SA Press, 2011.
Efendi, Satria. Ushul
Fiqih. Jakarta : Penerbit Kencana, 2009.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid II. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001.
Sya’ban, al-Din. Ushul al-Fiqh al-Islami. Mesir: Dar al-Ta’lif, 1965
Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islam, Jilid I. Damaskus: Dar al-Fikr, 1986
Manna’
Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an. Terj. Jakarta: Halim Jaya,
2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar