MAKALAH FIQIH
MUNAKAHAT
MENGENAI RUJU’
SEBAGAI BAHAN
DISKUSI UNTUK TUGAS PRESENTASI
DOSEN PENGAMPU
MAKUL
M. JAMAL SHI.SH, MH
DI SUSUN OLEH
1.
ZAINAL MUSTOFA
2.
SLAMET R
SEMESTER IV B JURUSAN SYARI’AH PRODI AS
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Setiap keluarga selalu berharap terciptanya kehidupan yang
harmonis/sakinah mawaddah warahmah. Akan tetapi masih banyak yang belum bisa
mewujudan hal itu, sehingga seringkali terjadi percerain dalam hubungan suami
istri. Akan tetapi diberbagai ayat Allah telah memberi sinyal kepada sumai
istri yang cerai/talak untuk melakukan rujuk(kembali).
Dengan adanya syariat tentang rujuk ini merupakan indikasi
bahwa islam menghendaki bahwa suatu perkawinan berlangsung selamnya. Oleh
karena itu, kendati telah terjadi pemutusan hubugan perkawinan, Allah SWT.
Masih memberi prioritas utama kepada suaminya untuk menyambung kembali tali
perkawinan yang nyaris terputus sebelum kesempatan itu diberikan kepada orang
lain setelah berakhirnya masa iddah.
Rujuk merupakan hak suami selama masa iddah, karena tidak
seorangpun yanga dapat menghapus hak rujuk. Kalau ada seorang laki-laki berkata
tidak akan merujuk istrinya ia tetap masih tetap berhak merjukinya. Karena
kemanapun istri itu berada selama masih dalam tanggungan iddah, suami masih
punya hak untuk merujuknya karena dalam masa iddah itu suami masih mempunyai
tanggunan untuk memberi nafkah.
Kita sebagai mahasiswa syari'ah yang mendalami ilmu tentang
keluarga perlu dimengerti segala apa yang berkaitan dengan hukum keluarga
khususnya rujuk. Dari itu dalam makala kami, akan kami kupas mualai dari
ayat-ayat atau hadist tentang apa itu rujuk dan bagaimana dasar hukumnya.
B.
Rumusan Masalah
a.
Rujuk Dalam Perspektif Fiqih
b. Pengertian Rujuk
c.
Dasar Hukum Rujuk
d. Rukun dan Syarat-syarat Rujuk
e.
Hikmah Rujuk
f.
Rujuk Menurut Kompilasi Hukum Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Rujuk
Dalam Perspektif Fiqih
1.
Pengertian Rujuk
Menurut bahasa Arab, kata ruju‟ berasal dari kata raja‟a – yarji‟u – rujk‟an yang
berarti kembali, dan mengembalikan.[1][1] Dalam istilah hukum Islam, para
fuqaha‟ mengenal istilah “ruju” dan istilah
“raj‟ah” yang keduanya semakna. Defenisi
rujuk dalam pengertian fiqh menurut al-Mahalli adalah : Kembali ke dalam
hubungan pernikahan dari cerai yang bukan talak bain, selama masa iddah.[2][2]
Ulama Hanafiyah memberi definisi
ruju‟ sebagaimana dikemukakan oleh Abu
Zahrah, sebagai berikut : Ruju‟ ialah
melestarikan pernikahan dalam masa iddah talak (raj‟i)[3][3] Sedangkan rujuk menurut para ulama
madzhab adalah sebagai berikut :
a. Hanafiyah, rujuk adalah tetapnya hak
milik suami dengan tanpa adanya pengganti dalam masa iddah, akan tetapi
tetapnya hak milik tersebut akan hilang bila habis masa iddah.
b. Malikiyah, rujuk adalah kembalinya istri yang dijatuhi
talak, karena takut berbuat dosa tanpa akad yang baru, kecuali bila kembalinya
tersebut dari talak ba‟in, maka
harus dengan akad baru, akan tetapi hal tersebut tidak bisa dikatakan rujuk.
c. Syafi‟iyah, rujuk adalah kembalinya istri ke dalam ikatan
pernikahan setelah dijatuhi talak satu atau dua dalam masa iddah. Menurut
golongan ini bahwa istri diharamkan berhubungan dengan suaminya sebagaimana
berhubungan dengan orang lain, meskipun suami berhak merujuknya dengan tanpa
kerelaan. Oleh karena itu rujuk menurut golongan Syafi‟iyah adalah mengembalikan hubungan suami istri ke dalam
ikatan pernikahan yang sempurna.
d. Hanabilah, rujuk adalah kembalinya istri yang dijatuhi talak
selain talak ba‟in kepada suaminya dengan tanpa
akad. Baik dengan perkataan atau perbuatan (bersetubuh) dengan niat ataupun
tidak.[4][4]
Pada dasarnya para ulama madzhab
sepakat, walaupun dengan redaksi yang berbeda bahwa rujuk adalah kembalinya
suami kepada istri yang dijatuhi talak satu dan atau dua, dalam masa iddah
dengan tanpa akad nikah yang baru, tanpa melihat apakan istri mengetahui rujuk
suaminya atau tidak, apakah ia senang atau tidak, dengan alasan bahwa istri
selama masa iddah tetap menjadi milik suami yang telah menjatuhkan talak
tersebut kepadanya.
Rujuk adalah suatu tindakan atau
perbuatan yang dilakukan oleh sang suami setelah menjatuhkan talak terhadap
istrinya, baik melalui ucapan yang jelas atau melalui perbuatan dengan tujuan
kembali ke dalam ikatan pernikahan, konsep rujuk dalan bahasan fiqh Islam
dibicarakan dalam permasalahan talak satu dan talak dua.
Dapat dirumuskan bahwa ruju‟ ialah “mengembalikan status hukum
pernikahan secara penuh setelah terjadinya talak raj‟i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas bekas
istrinya dalam masa iddah dengan ucapan tertentu”.[5][5]
Dari rumusan tersebut dapat
disimpulkan bahwa dengan terjadinya talak antara suami istri meskipun berstatus
talak raj‟i, namun pada dasarnya talak itu
mengakibatkan keharaman hubungan seksual antara keduanya, sebagaimana laki-laki
lain juga diharamkan melakukan hal yang serupa itu. Oleh karena itu, kendati
bekas suami dalam masa iddah berhak merujuk bekas istrinya itu dan
mengembalikannya sebagaimana suami istri yang sah secara penuh, namun karena
timbulnya keharaman itu berdasarkan talak yang diucapkan oleh bekas suami
terhadap bekas istrinya itu, maka untuk menghalalkan kembali bekas istrinya
menjadi istrinya lagi haruslah dengan pernyataan rujuk yang diucapkan oleh bekas
suami dimaksud.
2.
Dasar Hukum Rujuk
Dalam satu sisi rujuk itu adalah
memngbangun kembali kehidupan perkwainan yang terhenti atau memasuki kembali
kehidupan pernikahan. Kalau membangun kehidupan pernikahan pertama kali disebut
pernikahan, maka melanjutkannya disebut rujuk. Hukum rujuk demikian sama dengan
hukum pernikahan, dalam mendudukkan hukum rujuk itu ulama berbeda pendapat.
Jumhur ulama mengatakan bahwa rujuk itu adalah sunat, Dalil yang digunakan
jumhur ulama itu adalah firman Allah SWTdalam surat al-Baqarah ayat 229 :
“Talak
(yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.
Demikian pula firman Allah dalam
surat al-Baqarah ayat 228 :
“Dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para
suami) menghendaki ishlah”.
Kata imsak dalam ayat pertama dan
kata rad dalam ayat kedua mengandung maksud yang sama yaitu kembalinya suami
kepada istri yang telah diceraikannya. Tidak ada perintah yang tegas dalam
kedua ayat tersebut untuk ruuk. Adanya perintah Nabi supaya Ibnu Umar rujuk
karena sebelumnya dia menalaknya dalam keadaan haid. Oleh karenan itu hukum
rujuk iru adalah sunat.[6][6] Ibnu Rusyd membagi hukum ruju‟ kepada dua, yaitu hukum ruju‟ pada talak raj‟i dan hukum ruju‟ pada ta;ak ba‟in :
a.
Hukum rujuk pada talak raj‟i
Kaum muslimin telah sependapat bahwa
suami mempunyai hak meruju‟ istri
pada talak raj‟i, selam isteri masih berada dalam
masa iddah, tanpa mempertimbangkan persetujuan isteri,[7][7] berdasarkan firman Allah SWT :
“Dan
suami-suaminya berhak merujuk mereka (istri-istri) dalam masa menanti itu” (Al-Baqarah : 228)
Fuqaha juga sependapat bahwa syarat talak raj‟i ini harus terjadi setelah dukhul
(bersetubuh) dan rujuk dapat terjadi dengan kata-kata dan saksi.[8][8]
b. Hukum rujuk pada talak ba‟in
Rujuk terhadap wanita yang ditalak
ba‟in terbatas hanya terhadap wanita
yang ditalak melalui khluu‟, dengan
tebusan, dengan syarat dicampuri dan hendaknya talaknya tersebut bukan talak
tiga. Ulama empat madzhab sepakat bahwa hukum wanita seperti itu sama dengan
wanita lain (bukan istri) yang untuk mengawininya kembali disyaratkan adanya
akad, mahar, wali, kesediaan si wanita. Hanya saja dalam hal ini selesainya
iddah tidak dianggap sebagai syarat.
Hukum ruju‟ setelah talak tersebut sama dengan nikah baru. Mazhab empat
sepakat bahwa hukum wanita seperti itu sama dengan wanita lain (bukan istri)
yang untuk mengawinkannya kembali disyaratkan adanya akad. Hanya saja dalam hal
ini selesainya, iddah tidak dianggap sebagai syarat.[9][9]
1)
Talak Bain Karena Talak Tiga Kali
Mengenai istri yang ditalak tiga
kali, para ulama mengatakan bahwa ia tidak halal lagi bagi suaminya yang
pertama, kecuali sesudah digauli oleh suami kedua, berdasarkan hadits Rifa‟ah :
“Sesungguhnya
Rifa‟ah menalak tiga istrinya, Tamimah
binti Wahb, pada Rsulullag SAW., makan Tmimah kawin dengan Abdurrahman bin
Az-Zubair. Kemudian Abdurrahman berpaling darinya tanpa dapat menggaulinya,
lalu iapun menceraikannya. Maka Rifa‟ah,
suaminya yang pertama, bermaksud hendak mengawininya, maka Rasulullah melarang
kehendak perkawinan Rifa‟ah
dengan bersabda : Tamimah tidak halal bagimu hingga ia merasakan madu.” (HR. An-Nasai)
Semua fuqaha berpendapat bahwa
bertemunya dua alat kelamin menyebabkan halalnya bekas istrinya tersebut. Kecuali
al-Hasan al-Basri yang mengatakan bahwa istri tersebut baru menjadi dengan
terjadinya pergaulan yang mengeluarkan air mani.[10][10]
2) Nikah Muhalil
Dalam kaitan ini, fuqaha berselisih
pendapat mengenai nikah muhallil. Yakni jika seorang lelaki mengawini seorang
perempuan dengan syarat (tujuan) untuk menghalalkannya bagi suami yang pertama.
Imam Malik berpendapat bahwa nikah
tersebut rusak dan harus difasakh, baik sesudah maupun sebelum terjadinya
pergaulan. Demikian pula syarat tersebut rusak dan tidak berakibat halalnya
perumpuan tersebut. Dan baginya keinginan istri untuk menikah tahlil tidak
dipegangi, tetapi keinginan lelaki itulah yang dipegangi. Imam Malik dan
pengikutnya beralasan dengan hadits yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Dari Ali bin
Abi Thalib r.a, Ibnu Mas‟ud r.a,
Abu Hurairah r.a dan Uqbah bin Amir r.a :[11][11]
“Sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda : Allah melaknat perkawinan orang yang menghalalkan
(al-Muhallil) dan orang yang dihalalkan untuknya (al-Muhallal lah).” (HR. At-Tirmidzi)
Imam Asy-Syafi‟i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa
nikah muhallil dibolehkan, dan niat untuk menikah itu tidak mempengaruhi
sahnya. Pendapat ini dikemukakan pula oleh Daud dan segolongan fuqaha. Mereka
berpendapat bahwa pernikahan tersebut menyebabkan kehalalan istri yang dicerai
tiga kali.
3.
Rukun dan Syarat-syarat Rujuk
Rukun dan syarat-syarat rujuk adalah
hal yang harus dipenuhi untuk telaksananya sebuah perbuatan rujuk tersebut.
Diantara rukun dan syarat-syarat rujuk tersebut adalah sebagai berikut:
a. Sighat (lafaz), sighat ada 2 (dua),
yaitu :
1)
Terang-terangan (sharih), misalnya
dikatakan, “Saya kembali kepada isteri saya” atau “Saya ruju‟ padamu”.
2)
Melalui sindiran, misalnya “Saya
pegang engkau” atau “Saya kawin engkau” dan sebagainya, yaitu dengan kalimat
yang boleh dipakai untuk ruju‟ atau
untuk yang lainnya.
Disyariatkan ucapan itu tidak
bertaqlid, berarti tidak digantungkan, misalnya : “Aku ruju‟ engkau jika engkau mau”, ruju‟ semacam ini tidak sah walaupun
isterinya mau. Rujuk yang terbatas waktunya juga tidak sah, misalnya : “Aku
ruju‟ engkau sebulan”.
b. Istri (perempuan yang dirujuk), adapun syarat sahnya rujuk
bagi perempuan yang dirujuk itu adalah :
1) Perempuan itu adalah istri yang sah
dari laki-laki yang merujuk. Tidak sah merujuk perempuan yang bukan istrinya.[12][12]
2) Istri yang tertentu, kalau suami
menalak beberapa istrinya, kemudian ia ruju‟ kepada salah seorang dari mereka dengan tidak ditentukan
siapa yang dirujukkan, maka ruju‟nya itu
tidah sah.
3) Talaknya adalah talak raj‟i.
4) Ruju‟ itu terjadi sewaktu istri masih dalam masa iddah. Apabila
masa iddahnya telah berakhir, maka putuslah hubungannya dan dengan sendirinya
istri tersebut tidak boleh lagi dirujuk.[13][13]
c. Suami. Ruju‟ ini dilakukan oleh suami atas kehendaknya sendiri (bukan
dipaksa), dan suami tersebut juga telah menikahi istrinya itu dengan nikah yang
sah.
Para ulama madzhab berbeda pendapat
dalam masalah rukun dan syarat-syarat-syarat rujuk tersebut :
a.
Hanafiyah
Menurut Imam hanafi rukun rujuk itu
hanya satu, yaitu sighat, sedangkan istri dan suami keduanya adalah diluar dari
hakikat dari rukun rujuk tersebut. Sedangkan syarat rujuk ada empat, yaitu :
1)
Harus dari talak raj‟i
2)
Tidak ada syarat memilih
3)
Tidak ada disandarkan kepada
sesuatu. Tidak sah jika rujuk itu tergantung. Misalnya, jika suami mengatakan,
“Jika terjadi demikian, aku telah merujukmu”.
4)
Tidak digantungkan atas
syarat-syarat sebagai berikut : yaitu bukan talak tiga, bukan dengan satu
tambahan, baik berupa lafal hulu‟ dan
lain-lain atau bahkan dengan lafal talak, bukan talak satu sebelum dhukul,
karena istri yang ditalak itu telah dikumpuli. Jika suami menalak istri sebelum
dukhul dengannya, ia tidak berhak merujuknya karena ia tidak perlu iddah
darinya. Dan bukan menggunakan sindiran yang merupakan talak ba‟in baik dengan niat maupun sikap.
Menurut Abu Hanifah „akil dan baligh
bukan merupakan syarat untuk rujuk, karena rujuk tidak dibenarkan kecuali telah
terjadi talak raj‟i dari nikah yang sah. Shabi (anak
kecil di bawah umur) dan orang gila, talak dan ruuknya tidak sah. Dan nikah
yang fasid (rusak) di dalamnya tidak mengandung talak maupun rujuk, dengan
demikian bahwa rujuk adalah perkataan tertentu dan perbuatan tertentu saja.
b.
Malikiyah
Para ulama Malikiyah mensyaratkan
kepada orang yang melakukan rujuk dengan dua syarat, yaitu : baligh dan
berakal. Tidak sah rujuknya anak kecil juga bagi walinya, dengan alasan
talaknya anak kecil tersebut tidak lazin. Begitu pula dengan orang gila (hilang
akal), maka rujuknya juga tidak sah. Menurut Malikiyah dalam rujuk ada tiga
syarat, antara lain :
1) Bukan talak ba‟in. Istri
sah dirujuk apabila telah diceraikan dalam bentuk thalat raj‟i, karena tidak sah merujuk istri
yang masih terikat dalam tali perkawinan atau telah di talak namu dalam bentuk
talah bain.[14][14]
2) Masih dalam masa iddah, (istri masih berada dalam masa iddah
thalaq raj‟i), Hal tersebut berdasarkan firmah
Allah SWT :
“Dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para
suami) menghendaki ishlah”.
3) Menyetubuhi istrinya pada masa suci
Ruju boleh dan sah dilakukan walupun
suami istri terpisah dengan jarak yang jauh, meskipun tanpa sepengetahuan dan
kerelaan istri. Melakukan rujuk dibenarkan dengan dua hal, pertama, dengan
perbuatan baik yang jelas maupun berupa perkataan sindiran kepada istri, kedua,
dengan perbuatanm, yakni melakukan perbuatan yang dalam hal ini adalah
menyetubuhi sitri yang akan dirujuk dengan catatan harus diserati niat untuk
rujuk, jika hal tersebut sudah dilakukan, maka hubungan suami istri kembali
utuh seperti semula.
Jika tidak disertai dengan niat
rujuk, maka rujuknya tidak sah dan hubungan badan yang dilakukan adalah haram,
akan tetapi keharaman tersebut tidak menimbulkan had atau sedekah lainnya.
Kemusian bila hubungan badan tersebut membuahkan keturunan, maka nasab anak
tersebut ikut kepada si suami tadi.[15][15]
c.
Syafi‟iyah
Ulama Syafi‟iyah berperndapat bahwa orang yang merujuk adalah suami atau
orang yang diberi kepercayaan untuk mewakilinya dan bisa juga walinya. Harus
yang berakal sehat, baik yang bersangkutan, yang mewakilinya atau walinya.
Rukun rujuk menurut syafi‟i ada
empat, yaitu :
1)
Ada suami atau wakilnya
2)
Istri yang sudah pernah dicampuri
3)
Mengucapkan kata rujuk, yaitu : “Aku
rujuki engkau pada hari ini” atau “Telah kurujuki istriku yang bernama…. pada
hari ini”, dan sebagainya.
d.
Hanabilah
Ulama Hambali berpendapat rujuk
hanya terjadi melalui percampuran. Begitu terjadinya percampuran, maka
terjadilah rujuk, sekalipun sang suami tidak berniat untuk rujuk. Disyaratkan
bagi suami yang rujuk harus berakal sehat („aqil), sedangkan untuk istri disyaratkan
haruslah istri dari akad nikah yang sah. Dari segi sighat menurut hanbali ada
dua macam, yaitu : lafaz (ucapan) dan tindakan. Lafaz tersebut harus jelas
seperti “aku kembali kepadamu” sedangkan perbuatan yaitu dengan bersetubuh,
maka dihalalkan bagi suami yang menjatuhkan talak raj‟i (dalam masa iddah) menyetubuhi istrinya, maka dalam hal
itu suami telah melakukan rujuk kepada istrinya meskipun tanpa disertai dengan
niat, namun apabila yang dilakukan selain bersetubuh hanya mencium, memegang,
atau melihat kemaluan istri maka tidak tergolang kepada rujuk, meskipun dengan
syahwat.[17][17]
4.
Hikmah Rujuk
Diaturnya rujuk dalam hukum syara‟ karena padanya terdapat beberapa
hikmah yang akan mendatangkan kemashlahatan kepada manusia atau menghilangkan
kesulitan dari manusia, juga memberikan kesempatan kepada suami untuk melakukan
peninjauan ulang dan berfikir kembali jika ada rasa penyesalan setelah tindakan
menceraikan istrinya, lalu hendak memperbaiki cara bergaul dengan istrinya.
Institusi rujuk di dalam Islam mengandung beberapa hikmah, yaitu :
a.
Menghindarkan murka Allah, karena
perseraian itu sesuatu yang sangat dibenci. Karena selain dibenci oleh Islam
perbuatan tersebut bisa menimbulkan dampak negatif bagi suami atau istri maupun
terhadapa anak-anaknya (bagi yang memiliki anak).
b.
Bertaubat dan menyesali
kesalahan-kesalahan yang lalu untu bertekat memperbaikinya. Ini merupakan
kesempatan yang cukum baik untuk memperbaiki atau melakukan rekonsiliasi
terhadap konflik yang telah telah terjadi antara suami dan istri.
c.
Untuk menjaga keutuhan keluarga, dan
menghindari perpecahan keluarga. Terlebih lagi adalah untuk menyelamatkan masa
depan anak, bagi pasangan yang telah mempunyai keturunan. Dalam hal ini Islam
telah mengatur adanya iddah, sehingga dalam waktu masa iddah tersebut
suami-istri yang telah bercerai bisa memanfaatkan kesempatan tersebut untuk
memperbaiki konflik yang telah terjadi sehingga tidak menimbulkan dampak
negatif bagi anak-anknya. Karena telah diketahui bahwa perceraian yang terjadi
dengan alasan apapun tetap saja menimbulkan efek negatif pada anak.
d.
Mewujudkan islah atau perdamaian.
Meski hakikatnya hubungan perkawinan suami istri bersifat antar pribadi, namun
hal yang sering melibatkan keluarga besar masing-masing.
B.
Rujuk Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam KHI telah memuat aturan-aturan rujuk secara
terperinci. Dalam tingkat tertentu, KHI hanya mengulang penjelasan fiqih. Namun
berkenaan dengan proses, KHI lebih maju dari fiqih itu sendiri.[18][18]
Pasal
163 KHI
1. Seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah.
Karena konsep rujuk itu sendiri hanya berlaku bagi wanita yang sedang menjalani
iddah talak raj‟i (talak satu dan dua)
2. Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal :
a.
Putusnya perkawinan karena talak,
kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau talak yang dijatuhkan qobla al
dukhul.
b.
Putusnya perkawinan berdasarkan
putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk.
Pasal
164 KHI
Seorang
wanita dalam iddah talak raj‟i berhak
mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari suaminya di depan Pegawai
Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi.
Pasal
165 KHI
Rujuk
yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakan tidak sah dengan
putusan Pengadilan Agama.
Diantara
pasal-pasal yang mengatur rujuk, yaitu pasal 164 dan 165 KHI memang tidak
sejalan dengan aturan fiqh, karena rujuk dalam pandangan fiqh tidak memerlukan
persetujuan dari pihak istri dengan alasan, bahwa yang demikian adalah hak
mutlak seorang suami yang dapat digunakan tanpa sepengetahuan orang lain,
termasuk istri yang akan dirujukinya tersebut.
Pasal
166 KHI
Rujuk
dapat dibuktikan dengan kutipan buku pendaftaran rujuk dan bila bukti tersebut
hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan
duplikatnya pada instansi yang mengeluarkan semula.
Selanjutnya
tentang tata cara pelaksanaan rujuk itu diatur secara panjang lebar dalam pasal
167 sampai dengan pasal 169. Dalam kitab fiqh lebih banyak memuat hukum secara
materiil dan hampir tidak membahas tata cara atau hukum acaranya. Jadi
kesimpulannya aturan yang terdapat dalam KHI merupakan pelengkap dari aturan
yang telah ditetapkan dalam fiqh. Berikut pasal
Pasal
167 KHI
1.
Suami yang berhak merujuk istrinya
datang bersama-sama istrinya ke pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat
tinggal suami istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat
keterangan yang diperlukan.
2.
Rujuk dilakukan dengan persetujuan
istri dihadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
3.
Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakan suami yang akan merujuk
itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang
akan dilakukan itu masih dalam iddah talak raj‟i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah istrinya.
4.
Setelah itu suami mengucapkan
tujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani
buku pendaftaran rujuk.
5.
Setelah rujuk itu dilaksanakan,
Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami
istri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.
Pasal
168 KHI
1. Dalam
hal rujuk dilakukan dihadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, daftar rujuk
dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang
bersangkutan beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah
yang mewilayahi, disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat
dalam buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan.
2. Pengiriman
lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan
selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan.
3. Apabila
lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah membuatkan salinan dari daftar kedua, dengan berita cara tentang sebab
hilang lainnya.
Pasal 169 KHI
1. Pegawai
Pencatat Nikah membuat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkan
kepada Pengadilan Agama ditempat berlangsungnya talak yang bersangkutan dan
kepada suami dan istri masing-masing diberikan kutipan buku pendaftaran rujuk
menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama.
2. Suami
istri atau kuasanya dengan membawa kutipan buku pendaftaran rujuk tersebut
datang ke Pengadilam Agama tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus
dan mengambil Kutipan Akta Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi
catatan oleh pengadilan agama dalam ruang yang tersedia Kutipan Akta Nikah
tersebut, bahwa yang bersangkutan telah rujuk.
3. Catatan
yang dimaksud ayat (2) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk
diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan
panitera.[19][19]
BAB III
KESIMPULAN
Dengan adanya syariat tentang rujuk ini merupakan indikasi
bahwa islam menghendaki bahwa suatu perkawinan berlangsung selamanya. Oleh karena itu, kendati telah terjadi pemutusan
hubugan perkawinan, Allah SWT. Masih memberi prioritas utama kepada suaminya
untuk menyambung kembali tali perkawinan yang nyaris terputus sebelum
kesempatan itu diberikan kepada orang lain setelah berakhirnya masa iddah.
Rujuk merupakan hak suami selama masa iddah, karena tidak
seorangpun yanga dapat menghapus hak rujuk. Kalau ada seorang laki-laki berkata
tidak akan merujuk istrinya ia tetap masih tetap berhak merjukinya. Karena
kemanapun istri itu berada selama masih dalam tanggungan iddah, suami masih
punya hak untuk merujuknya karena dalam masa iddah itu suami masih mempunyai
tanggunan untuk memberi nafkah.
Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan
terjadinya talak antara suami istri meskipun berstatus talak raj‟i, namun pada dasarnya talak itu
mengakibatkan keharaman hubungan seksual antara keduanya, sebagaimana laki-laki
lain juga diharamkan melakukan hal yang serupa itu. Oleh karena itu, kendati
bekas suami dalam masa iddah berhak merujuk bekas istrinya itu dan
mengembalikannya sebagaimana suami istri yang sah secara penuh, namun karena
timbulnya keharaman itu berdasarkan talak yang diucapkan oleh bekas suami
terhadap bekas istrinya itu, maka untuk menghalalkan kembali bekas istrinya
menjadi istrinya lagi haruslah dengan pernyataan rujuk yang diucapkan oleh
bekas suami dimaksud.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jaziri,
Fiqh ala Mazabib al-Arba‟ah.
Ghozali,
Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Kencana, 2008)
Nuruddin,
Amiur, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI,
(Jakarta : Kencana, 2006)
Sa‟id, Imam Ghazali, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih Para
Mujtahid, (Jakarta : Pustaka Amani, 2007)
Syarifuddin,
Amir, Hukum Pernikahan di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang
Pernikahan, (Jakarta : Kencana, 2006)
[2][2] Amir Syarifuddin, Hukum Pernikahan di Indonesia antara Fiqh
Munakahat dan Undang-undang Pernikahan, (Jakarta : Kencana, 2006), hlm. 337
[8][8] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid,
diterjemahkan oleh Imam Ghazali Sa‟id, Bidayatul Mujtahud, Analisa Fiqih Para Mujtahid,
(Jakarta : Pustaka Amani, 2007), hlm. 592
[18][18] Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta
: Kencana, 2006), hlm. 269
Tidak ada komentar:
Posting Komentar