Jumat, 20 November 2015

MAKALAH RUJU'



MAKALAH FIQIH MUNAKAHAT
MENGENAI RUJU’
SEBAGAI BAHAN DISKUSI UNTUK TUGAS PRESENTASI
DOSEN PENGAMPU MAKUL
M. JAMAL SHI.SH, MH
 





DI SUSUN OLEH
1.      ZAINAL MUSTOFA
2.      SLAMET R

SEMESTER IV B JURUSAN SYARI’AH  PRODI AS

2015

BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar belakang
Setiap keluarga selalu berharap terciptanya kehidupan yang harmonis/sakinah mawaddah warahmah. Akan tetapi masih banyak yang belum bisa mewujudan hal itu, sehingga seringkali terjadi percerain dalam hubungan suami istri. Akan tetapi diberbagai ayat Allah telah memberi sinyal kepada sumai istri yang cerai/talak untuk melakukan rujuk(kembali).
Dengan adanya syariat tentang rujuk ini merupakan indikasi bahwa islam menghendaki bahwa suatu perkawinan berlangsung selamnya. Oleh karena itu, kendati telah terjadi pemutusan hubugan perkawinan, Allah SWT. Masih memberi prioritas utama kepada suaminya untuk menyambung kembali tali perkawinan yang nyaris terputus sebelum kesempatan itu diberikan kepada orang lain setelah berakhirnya masa iddah.
Rujuk merupakan hak suami selama masa iddah, karena tidak seorangpun yanga dapat menghapus hak rujuk. Kalau ada seorang laki-laki berkata tidak akan merujuk istrinya ia tetap masih tetap berhak merjukinya. Karena kemanapun istri itu berada selama masih dalam tanggungan iddah, suami masih punya hak untuk merujuknya karena dalam masa iddah itu suami masih mempunyai tanggunan untuk memberi nafkah.
Kita sebagai mahasiswa syari'ah yang mendalami ilmu tentang keluarga perlu dimengerti segala apa yang berkaitan dengan hukum keluarga khususnya rujuk. Dari itu dalam makala kami, akan kami kupas mualai dari ayat-ayat atau hadist tentang apa itu rujuk dan bagaimana dasar hukumnya.

B.       Rumusan Masalah
a.       Rujuk Dalam Perspektif Fiqih
b.      Pengertian Rujuk
c.       Dasar Hukum Rujuk
d.      Rukun dan Syarat-syarat Rujuk
e.       Hikmah Rujuk
f.       Rujuk Menurut Kompilasi Hukum Islam














BAB II
PEMBAHASAN


A.      Rujuk Dalam Perspektif Fiqih
1.        Pengertian Rujuk
Menurut bahasa Arab, kata ruju berasal dari kata rajaa – yarjiu – rujkan yang berarti kembali, dan mengembalikan.[1][1] Dalam istilah hukum Islam, para fuqaha mengenal istilah “ruju” dan istilah “rajah” yang keduanya semakna. Defenisi rujuk dalam pengertian fiqh menurut al-Mahalli adalah : Kembali ke dalam hubungan pernikahan dari cerai yang bukan talak bain, selama masa iddah.[2][2]
Ulama Hanafiyah memberi definisi ruju sebagaimana dikemukakan oleh Abu Zahrah, sebagai berikut : Ruju ialah melestarikan pernikahan dalam masa iddah talak (raji)[3][3] Sedangkan rujuk menurut para ulama madzhab adalah sebagai berikut :
a.       Hanafiyah, rujuk adalah tetapnya hak milik suami dengan tanpa adanya pengganti dalam masa iddah, akan tetapi tetapnya hak milik tersebut akan hilang bila habis masa iddah.
b.      Malikiyah, rujuk adalah kembalinya istri yang dijatuhi talak, karena takut berbuat dosa tanpa akad yang baru, kecuali bila kembalinya tersebut dari talak bain, maka harus dengan akad baru, akan tetapi hal tersebut tidak bisa dikatakan rujuk.
c.       Syafiiyah, rujuk adalah kembalinya istri ke dalam ikatan pernikahan setelah dijatuhi talak satu atau dua dalam masa iddah. Menurut golongan ini bahwa istri diharamkan berhubungan dengan suaminya sebagaimana berhubungan dengan orang lain, meskipun suami berhak merujuknya dengan tanpa kerelaan. Oleh karena itu rujuk menurut golongan Syafiiyah adalah mengembalikan hubungan suami istri ke dalam ikatan pernikahan yang sempurna.
d.      Hanabilah, rujuk adalah kembalinya istri yang dijatuhi talak selain talak bain kepada suaminya dengan tanpa akad. Baik dengan perkataan atau perbuatan (bersetubuh) dengan niat ataupun tidak.[4][4]
Pada dasarnya para ulama madzhab sepakat, walaupun dengan redaksi yang berbeda bahwa rujuk adalah kembalinya suami kepada istri yang dijatuhi talak satu dan atau dua, dalam masa iddah dengan tanpa akad nikah yang baru, tanpa melihat apakan istri mengetahui rujuk suaminya atau tidak, apakah ia senang atau tidak, dengan alasan bahwa istri selama masa iddah tetap menjadi milik suami yang telah menjatuhkan talak tersebut kepadanya.
Rujuk adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh sang suami setelah menjatuhkan talak terhadap istrinya, baik melalui ucapan yang jelas atau melalui perbuatan dengan tujuan kembali ke dalam ikatan pernikahan, konsep rujuk dalan bahasan fiqh Islam dibicarakan dalam permasalahan talak satu dan talak dua.
Dapat dirumuskan bahwa ruju ialah “mengembalikan status hukum pernikahan secara penuh setelah terjadinya talak raji yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas bekas istrinya dalam masa iddah dengan ucapan tertentu”.[5][5]
Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan terjadinya talak antara suami istri meskipun berstatus talak raji, namun pada dasarnya talak itu mengakibatkan keharaman hubungan seksual antara keduanya, sebagaimana laki-laki lain juga diharamkan melakukan hal yang serupa itu. Oleh karena itu, kendati bekas suami dalam masa iddah berhak merujuk bekas istrinya itu dan mengembalikannya sebagaimana suami istri yang sah secara penuh, namun karena timbulnya keharaman itu berdasarkan talak yang diucapkan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya itu, maka untuk menghalalkan kembali bekas istrinya menjadi istrinya lagi haruslah dengan pernyataan rujuk yang diucapkan oleh bekas suami dimaksud.

2.        Dasar Hukum Rujuk
Dalam satu sisi rujuk itu adalah memngbangun kembali kehidupan perkwainan yang terhenti atau memasuki kembali kehidupan pernikahan. Kalau membangun kehidupan pernikahan pertama kali disebut pernikahan, maka melanjutkannya disebut rujuk. Hukum rujuk demikian sama dengan hukum pernikahan, dalam mendudukkan hukum rujuk itu ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan bahwa rujuk itu adalah sunat, Dalil yang digunakan jumhur ulama itu adalah firman Allah SWTdalam surat al-Baqarah ayat 229 :
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.

Demikian pula firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228 :
“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah”.

Kata imsak dalam ayat pertama dan kata rad dalam ayat kedua mengandung maksud yang sama yaitu kembalinya suami kepada istri yang telah diceraikannya. Tidak ada perintah yang tegas dalam kedua ayat tersebut untuk ruuk. Adanya perintah Nabi supaya Ibnu Umar rujuk karena sebelumnya dia menalaknya dalam keadaan haid. Oleh karenan itu hukum rujuk iru adalah sunat.[6][6] Ibnu Rusyd membagi hukum ruju kepada dua, yaitu hukum ruju pada talak raji dan hukum ruju pada ta;ak bain :
a.       Hukum rujuk pada talak raji
Kaum muslimin telah sependapat bahwa suami mempunyai hak meruju istri pada talak raji, selam isteri masih berada dalam masa iddah, tanpa mempertimbangkan persetujuan isteri,[7][7] berdasarkan firman Allah SWT :
“Dan suami-suaminya berhak merujuk mereka (istri-istri) dalam masa menanti itu” (Al-Baqarah : 228)
Fuqaha juga sependapat bahwa syarat talak raji ini harus terjadi setelah dukhul (bersetubuh) dan rujuk dapat terjadi dengan kata-kata dan saksi.[8][8]
b.      Hukum rujuk pada talak bain
Rujuk terhadap wanita yang ditalak bain terbatas hanya terhadap wanita yang ditalak melalui khluu, dengan tebusan, dengan syarat dicampuri dan hendaknya talaknya tersebut bukan talak tiga. Ulama empat madzhab sepakat bahwa hukum wanita seperti itu sama dengan wanita lain (bukan istri) yang untuk mengawininya kembali disyaratkan adanya akad, mahar, wali, kesediaan si wanita. Hanya saja dalam hal ini selesainya iddah tidak dianggap sebagai syarat.
Hukum ruju setelah talak tersebut sama dengan nikah baru. Mazhab empat sepakat bahwa hukum wanita seperti itu sama dengan wanita lain (bukan istri) yang untuk mengawinkannya kembali disyaratkan adanya akad. Hanya saja dalam hal ini selesainya, iddah tidak dianggap sebagai syarat.[9][9]
1)   Talak Bain Karena Talak Tiga Kali
Mengenai istri yang ditalak tiga kali, para ulama mengatakan bahwa ia tidak halal lagi bagi suaminya yang pertama, kecuali sesudah digauli oleh suami kedua, berdasarkan hadits Rifaah :
“Sesungguhnya Rifaah menalak tiga istrinya, Tamimah binti Wahb, pada Rsulullag SAW., makan Tmimah kawin dengan Abdurrahman bin Az-Zubair. Kemudian Abdurrahman berpaling darinya tanpa dapat menggaulinya, lalu iapun menceraikannya. Maka Rifaah, suaminya yang pertama, bermaksud hendak mengawininya, maka Rasulullah melarang kehendak perkawinan Rifaah dengan bersabda : Tamimah tidak halal bagimu hingga ia merasakan madu.” (HR. An-Nasai)
Semua fuqaha berpendapat bahwa bertemunya dua alat kelamin menyebabkan halalnya bekas istrinya tersebut. Kecuali al-Hasan al-Basri yang mengatakan bahwa istri tersebut baru menjadi dengan terjadinya pergaulan yang mengeluarkan air mani.[10][10]


2)   Nikah Muhalil
Dalam kaitan ini, fuqaha berselisih pendapat mengenai nikah muhallil. Yakni jika seorang lelaki mengawini seorang perempuan dengan syarat (tujuan) untuk menghalalkannya bagi suami yang pertama.
Imam Malik berpendapat bahwa nikah tersebut rusak dan harus difasakh, baik sesudah maupun sebelum terjadinya pergaulan. Demikian pula syarat tersebut rusak dan tidak berakibat halalnya perumpuan tersebut. Dan baginya keinginan istri untuk menikah tahlil tidak dipegangi, tetapi keinginan lelaki itulah yang dipegangi. Imam Malik dan pengikutnya beralasan dengan hadits yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Dari Ali bin Abi Thalib r.a, Ibnu Masud r.a, Abu Hurairah r.a dan Uqbah bin Amir r.a :[11][11]
“Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : Allah melaknat perkawinan orang yang menghalalkan (al-Muhallil) dan orang yang dihalalkan untuknya (al-Muhallal lah).” (HR. At-Tirmidzi)
Imam Asy-Syafii dan Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah muhallil dibolehkan, dan niat untuk menikah itu tidak mempengaruhi sahnya. Pendapat ini dikemukakan pula oleh Daud dan segolongan fuqaha. Mereka berpendapat bahwa pernikahan tersebut menyebabkan kehalalan istri yang dicerai tiga kali.

3.        Rukun dan Syarat-syarat Rujuk
Rukun dan syarat-syarat rujuk adalah hal yang harus dipenuhi untuk telaksananya sebuah perbuatan rujuk tersebut. Diantara rukun dan syarat-syarat rujuk tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Sighat (lafaz), sighat ada 2 (dua), yaitu :
1)      Terang-terangan (sharih), misalnya dikatakan, “Saya kembali kepada isteri saya” atau “Saya ruju padamu”.
2)      Melalui sindiran, misalnya “Saya pegang engkau” atau “Saya kawin engkau” dan sebagainya, yaitu dengan kalimat yang boleh dipakai untuk ruju atau untuk yang lainnya.
Disyariatkan ucapan itu tidak bertaqlid, berarti tidak digantungkan, misalnya : “Aku ruju engkau jika engkau mau”, ruju semacam ini tidak sah walaupun isterinya mau. Rujuk yang terbatas waktunya juga tidak sah, misalnya : “Aku ruju engkau sebulan”.
b.      Istri (perempuan yang dirujuk), adapun syarat sahnya rujuk bagi perempuan yang dirujuk itu adalah :
1)      Perempuan itu adalah istri yang sah dari laki-laki yang merujuk. Tidak sah merujuk perempuan yang bukan istrinya.[12][12]
2)      Istri yang tertentu, kalau suami menalak beberapa istrinya, kemudian ia ruju kepada salah seorang dari mereka dengan tidak ditentukan siapa yang dirujukkan, maka rujunya itu tidah sah.
3)      Talaknya adalah talak raji.
4)      Ruju itu terjadi sewaktu istri masih dalam masa iddah. Apabila masa iddahnya telah berakhir, maka putuslah hubungannya dan dengan sendirinya istri tersebut tidak boleh lagi dirujuk.[13][13]
c.       Suami. Ruju ini dilakukan oleh suami atas kehendaknya sendiri (bukan dipaksa), dan suami tersebut juga telah menikahi istrinya itu dengan nikah yang sah.
Para ulama madzhab berbeda pendapat dalam masalah rukun dan syarat-syarat-syarat rujuk tersebut :
a.         Hanafiyah
Menurut Imam hanafi rukun rujuk itu hanya satu, yaitu sighat, sedangkan istri dan suami keduanya adalah diluar dari hakikat dari rukun rujuk tersebut. Sedangkan syarat rujuk ada empat, yaitu :
1)   Harus dari talak raji
2)   Tidak ada syarat memilih
3)   Tidak ada disandarkan kepada sesuatu. Tidak sah jika rujuk itu tergantung. Misalnya, jika suami mengatakan, “Jika terjadi demikian, aku telah merujukmu”.
4)   Tidak digantungkan atas syarat-syarat sebagai berikut : yaitu bukan talak tiga, bukan dengan satu tambahan, baik berupa lafal hulu dan lain-lain atau bahkan dengan lafal talak, bukan talak satu sebelum dhukul, karena istri yang ditalak itu telah dikumpuli. Jika suami menalak istri sebelum dukhul dengannya, ia tidak berhak merujuknya karena ia tidak perlu iddah darinya. Dan bukan menggunakan sindiran yang merupakan talak bain baik dengan niat maupun sikap.
Menurut Abu Hanifah „akil dan baligh bukan merupakan syarat untuk rujuk, karena rujuk tidak dibenarkan kecuali telah terjadi talak raji dari nikah yang sah. Shabi (anak kecil di bawah umur) dan orang gila, talak dan ruuknya tidak sah. Dan nikah yang fasid (rusak) di dalamnya tidak mengandung talak maupun rujuk, dengan demikian bahwa rujuk adalah perkataan tertentu dan perbuatan tertentu saja.
b.        Malikiyah
Para ulama Malikiyah mensyaratkan kepada orang yang melakukan rujuk dengan dua syarat, yaitu : baligh dan berakal. Tidak sah rujuknya anak kecil juga bagi walinya, dengan alasan talaknya anak kecil tersebut tidak lazin. Begitu pula dengan orang gila (hilang akal), maka rujuknya juga tidak sah. Menurut Malikiyah dalam rujuk ada tiga syarat, antara lain :
1)      Bukan talak bain. Istri sah dirujuk apabila telah diceraikan dalam bentuk thalat raji, karena tidak sah merujuk istri yang masih terikat dalam tali perkawinan atau telah di talak namu dalam bentuk talah bain.[14][14]
2)      Masih dalam masa iddah, (istri masih berada dalam masa iddah thalaq raji), Hal tersebut berdasarkan firmah Allah SWT :
“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah”.
3)      Menyetubuhi istrinya pada masa suci
Ruju boleh dan sah dilakukan walupun suami istri terpisah dengan jarak yang jauh, meskipun tanpa sepengetahuan dan kerelaan istri. Melakukan rujuk dibenarkan dengan dua hal, pertama, dengan perbuatan baik yang jelas maupun berupa perkataan sindiran kepada istri, kedua, dengan perbuatanm, yakni melakukan perbuatan yang dalam hal ini adalah menyetubuhi sitri yang akan dirujuk dengan catatan harus diserati niat untuk rujuk, jika hal tersebut sudah dilakukan, maka hubungan suami istri kembali utuh seperti semula.
Jika tidak disertai dengan niat rujuk, maka rujuknya tidak sah dan hubungan badan yang dilakukan adalah haram, akan tetapi keharaman tersebut tidak menimbulkan had atau sedekah lainnya. Kemusian bila hubungan badan tersebut membuahkan keturunan, maka nasab anak tersebut ikut kepada si suami tadi.[15][15]
c.         Syafiiyah
Ulama Syafiiyah berperndapat bahwa orang yang merujuk adalah suami atau orang yang diberi kepercayaan untuk mewakilinya dan bisa juga walinya. Harus yang berakal sehat, baik yang bersangkutan, yang mewakilinya atau walinya. Rukun rujuk menurut syafii ada empat, yaitu :
1)      Ada suami atau wakilnya
2)      Istri yang sudah pernah dicampuri
3)      Mengucapkan kata rujuk, yaitu : “Aku rujuki engkau pada hari ini” atau “Telah kurujuki istriku yang bernama…. pada hari ini”, dan sebagainya.
4)      Rujuk itu dilakukan dalam talak raji[16][16]

d.        Hanabilah
Ulama Hambali berpendapat rujuk hanya terjadi melalui percampuran. Begitu terjadinya percampuran, maka terjadilah rujuk, sekalipun sang suami tidak berniat untuk rujuk. Disyaratkan bagi suami yang rujuk harus berakal sehat („aqil), sedangkan untuk istri disyaratkan haruslah istri dari akad nikah yang sah. Dari segi sighat menurut hanbali ada dua macam, yaitu : lafaz (ucapan) dan tindakan. Lafaz tersebut harus jelas seperti “aku kembali kepadamu” sedangkan perbuatan yaitu dengan bersetubuh, maka dihalalkan bagi suami yang menjatuhkan talak raji (dalam masa iddah) menyetubuhi istrinya, maka dalam hal itu suami telah melakukan rujuk kepada istrinya meskipun tanpa disertai dengan niat, namun apabila yang dilakukan selain bersetubuh hanya mencium, memegang, atau melihat kemaluan istri maka tidak tergolang kepada rujuk, meskipun dengan syahwat.[17][17]

4.        Hikmah Rujuk
Diaturnya rujuk dalam hukum syara karena padanya terdapat beberapa hikmah yang akan mendatangkan kemashlahatan kepada manusia atau menghilangkan kesulitan dari manusia, juga memberikan kesempatan kepada suami untuk melakukan peninjauan ulang dan berfikir kembali jika ada rasa penyesalan setelah tindakan menceraikan istrinya, lalu hendak memperbaiki cara bergaul dengan istrinya. Institusi rujuk di dalam Islam mengandung beberapa hikmah, yaitu :
a.       Menghindarkan murka Allah, karena perseraian itu sesuatu yang sangat dibenci. Karena selain dibenci oleh Islam perbuatan tersebut bisa menimbulkan dampak negatif bagi suami atau istri maupun terhadapa anak-anaknya (bagi yang memiliki anak).
b.      Bertaubat dan menyesali kesalahan-kesalahan yang lalu untu bertekat memperbaikinya. Ini merupakan kesempatan yang cukum baik untuk memperbaiki atau melakukan rekonsiliasi terhadap konflik yang telah telah terjadi antara suami dan istri.
c.       Untuk menjaga keutuhan keluarga, dan menghindari perpecahan keluarga. Terlebih lagi adalah untuk menyelamatkan masa depan anak, bagi pasangan yang telah mempunyai keturunan. Dalam hal ini Islam telah mengatur adanya iddah, sehingga dalam waktu masa iddah tersebut suami-istri yang telah bercerai bisa memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memperbaiki konflik yang telah terjadi sehingga tidak menimbulkan dampak negatif bagi anak-anknya. Karena telah diketahui bahwa perceraian yang terjadi dengan alasan apapun tetap saja menimbulkan efek negatif pada anak.
d.      Mewujudkan islah atau perdamaian. Meski hakikatnya hubungan perkawinan suami istri bersifat antar pribadi, namun hal yang sering melibatkan keluarga besar masing-masing.

B.       Rujuk Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam KHI telah memuat aturan-aturan rujuk secara terperinci. Dalam tingkat tertentu, KHI hanya mengulang penjelasan fiqih. Namun berkenaan dengan proses, KHI lebih maju dari fiqih itu sendiri.[18][18]
Pasal 163 KHI
1.      Seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah. Karena konsep rujuk itu sendiri hanya berlaku bagi wanita yang sedang menjalani iddah talak raji (talak satu dan dua)
2.      Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal :
a.       Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau talak yang dijatuhkan qobla al dukhul.
b.      Putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk.

Pasal 164 KHI
Seorang wanita dalam iddah talak raji berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari suaminya di depan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi.

Pasal 165 KHI
Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.
Diantara pasal-pasal yang mengatur rujuk, yaitu pasal 164 dan 165 KHI memang tidak sejalan dengan aturan fiqh, karena rujuk dalam pandangan fiqh tidak memerlukan persetujuan dari pihak istri dengan alasan, bahwa yang demikian adalah hak mutlak seorang suami yang dapat digunakan tanpa sepengetahuan orang lain, termasuk istri yang akan dirujukinya tersebut.

Pasal 166 KHI
Rujuk dapat dibuktikan dengan kutipan buku pendaftaran rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya pada instansi yang mengeluarkan semula.
Selanjutnya tentang tata cara pelaksanaan rujuk itu diatur secara panjang lebar dalam pasal 167 sampai dengan pasal 169. Dalam kitab fiqh lebih banyak memuat hukum secara materiil dan hampir tidak membahas tata cara atau hukum acaranya. Jadi kesimpulannya aturan yang terdapat dalam KHI merupakan pelengkap dari aturan yang telah ditetapkan dalam fiqh. Berikut pasal

Pasal 167 KHI
1.    Suami yang berhak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan yang diperlukan.
2.    Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
3.    Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakan suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan itu masih dalam iddah talak raji, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah istrinya.
4.    Setelah itu suami mengucapkan tujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani buku pendaftaran rujuk.
5.    Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami istri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.



Pasal 168 KHI
1.    Dalam hal rujuk dilakukan dihadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi, disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat dalam buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan.
2.    Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan.
3.    Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar kedua, dengan berita cara tentang sebab hilang lainnya.

Pasal 169 KHI
1.    Pegawai Pencatat Nikah membuat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkan kepada Pengadilan Agama ditempat berlangsungnya talak yang bersangkutan dan kepada suami dan istri masing-masing diberikan kutipan buku pendaftaran rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama.
2.    Suami istri atau kuasanya dengan membawa kutipan buku pendaftaran rujuk tersebut datang ke Pengadilam Agama tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan Akta Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh pengadilan agama dalam ruang yang tersedia Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan telah rujuk.
3.    Catatan yang dimaksud ayat (2) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan panitera.[19][19]


























BAB III
KESIMPULAN

Dengan adanya syariat tentang rujuk ini merupakan indikasi bahwa islam menghendaki bahwa suatu perkawinan berlangsung selamanya. Oleh karena itu, kendati telah terjadi pemutusan hubugan perkawinan, Allah SWT. Masih memberi prioritas utama kepada suaminya untuk menyambung kembali tali perkawinan yang nyaris terputus sebelum kesempatan itu diberikan kepada orang lain setelah berakhirnya masa iddah.
Rujuk merupakan hak suami selama masa iddah, karena tidak seorangpun yanga dapat menghapus hak rujuk. Kalau ada seorang laki-laki berkata tidak akan merujuk istrinya ia tetap masih tetap berhak merjukinya. Karena kemanapun istri itu berada selama masih dalam tanggungan iddah, suami masih punya hak untuk merujuknya karena dalam masa iddah itu suami masih mempunyai tanggunan untuk memberi nafkah.
Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan terjadinya talak antara suami istri meskipun berstatus talak raji, namun pada dasarnya talak itu mengakibatkan keharaman hubungan seksual antara keduanya, sebagaimana laki-laki lain juga diharamkan melakukan hal yang serupa itu. Oleh karena itu, kendati bekas suami dalam masa iddah berhak merujuk bekas istrinya itu dan mengembalikannya sebagaimana suami istri yang sah secara penuh, namun karena timbulnya keharaman itu berdasarkan talak yang diucapkan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya itu, maka untuk menghalalkan kembali bekas istrinya menjadi istrinya lagi haruslah dengan pernyataan rujuk yang diucapkan oleh bekas suami dimaksud.
























DAFTAR PUSTAKA

Al-Jaziri, Fiqh ala Mazabib al-Arbaah.
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Kencana, 2008)
Nuruddin, Amiur, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta : Kencana, 2006)
Said, Imam Ghazali, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid, (Jakarta : Pustaka Amani, 2007)
Syarifuddin, Amir, Hukum Pernikahan di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Pernikahan, (Jakarta : Kencana, 2006)






[1][1] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Kencana, 2008), hlm. 285
[2][2] Amir Syarifuddin, Hukum Pernikahan di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Pernikahan, (Jakarta : Kencana, 2006), hlm. 337
[3][3] Abdul Rahman Ghozali, Op.Cit, hlm. 285
[4][4] Al-Jaziri, Fiqh ala Mazabib al-Arbaah, hlm. 377-378
[5][5] Abdul Rahman Ghozali, Op.Cit, hlm. 286-287
[6][6] Amir Syarifuddin, Op.Cit, hlm. 340
[7][7] Abdul Rahman Ghozali, Op.Cit, hlm. 289
[8][8] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, diterjemahkan oleh Imam Ghazali Said, Bidayatul Mujtahud, Analisa Fiqih Para Mujtahid, (Jakarta : Pustaka Amani, 2007), hlm. 592
[9][9] Abdul Rahman Ghozali, Op.Cit, hlm.  292
[10][10] Ibnu Rusyd, Op.Cit, hlm. 597
[11][11]Ibid, hlm. 598
[12][12] Amir Syarifuddin, Op.Cit, hlm. 341
[13][13]Ibid, hlm. 341
[14][14]Ibid, hlm. 341
[15][15] Al-Jaziri, Op.Cit, hlm. 383
[16][16]Ibid, hlm. 385
[17][17]Ibid, hlm. 389
[18][18] Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta : Kencana, 2006), hlm. 269
[19][19] Amir Syarifuddin, Op.Cit, hlm. 347-289

Tidak ada komentar:

Posting Komentar