Tugas
makalah ushul fiqih
sebagai bahan refrensi untuk
presentasi
Oleh: Zainal mustofa
dusen pengampu
Sumarjoko S.H.I M.S.I
Bismillahirrohmanirrokhim......
IFTA’
DAN ISTIFTA’
I.
PENDAHULUAN
Pada masa awal perkembangan Islam,
Rasulullah SAW. telah menghadapi berbagai persoalan-persoalan baru yang
menyangkut urusan-urusan keagamaan dan keduniaan, terutama di kalangan bangsa
Arab Makkah. Bersamaan dengan itu, Allah menurunkan wahyu sebagai tanda
kemukjizatan Rasulullah SAW. penutup para Nabi.
Makna hal terpenting dari wahyu
tersebut adalah Rasulullah SAW mengeluarkan fatwa-fatwa sebagai
petunjuk, pedoman dan panduan bagi umat Islam dalam memberikan penjelasan,
jawaban dan alternatif terhadap persoalan-persoalan yang mencakupi isu-isu akidah,
sosial, ekonomi, adat, budaya, politik dan lain-lain. Dengan demikian,
kehidupan terus berjalan di bawah ajaran (hukum-hukum ) dan bimbingan agama
Allah.
Seiring dengan perkembangan zaman
dan tuntutan kondisi, berbagai persoalan entah klise ataupun baru, selalu
muncul di tengah-tengah masyarakat.
Umat Islam kerap dihadapkan pada
kegamangan, setiap kali perubahan zaman terjadi. Tak heran jika selalu muncul
pertanyaan, apakah perubahan itu sesuai dengan syariat Islam?
Guna menjawab kegamangan itu, umat membutuhkan
sebuah fatwa dari para ulama. Fatwa ibarat setetes air di saat dahaga. Fatwa
dari sosok ahli ilmu dianggap menjadi jawaban yang memberikan jaminan
ketenangan dan keyakinan,terutama jika ditinjau dari aspek syariatnya.
Selanjutnya, kita akan membahas
beberapa definisi tentang fatwa atau yang sering disebut dengan ifta’ dan apa
saja yang terkait dengan fatwa.
II.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa
Pengertian Ifta’, Istifta’, dan Mufti?
2.
Apa saja
Syarat-syarat Mufti?
3.
Bagaima Kedudukan
Ifta’?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
1.
Fatwa
Kata Fatwa (kemudian disebut dalam istilah
bahasa Indonesia) sepadan dengan kata Ifta’ yang berakar dari afta,
berarti penjelasan tentang suatu masalah.[1][1]
Dari segi terminologi fatwa adalah
pendapat atau keputusan dari alim ulama atau ahli hukum Islam. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia disebutkan, fatwa adalah jawab (keputusan/pendapat) yang
diberikan oleh mufti terhadap suatu masalah atau juga dinamakan dengan petuah.
Sedangkan dalam ilmu ushul fiqh, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan oleh
seorang mujtahid atau fakih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam
satu kasus yang sifatnya tidak mengikat.
الإِخْبَارُ
عَنْ حُكْمِ الله تَعَالى بِمُقْتَضَى الأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ عَلَى جِهَةِ
الْعُمُوْمِ وَالشُّمُوْلِ
“Fatwa ialah menyampaikan
hukum-hukum Allah berdasarkan dalil-dalil syariah yang mencakup segala
persoalan”.
Menurut ulama Hanafi, ifta’ adalah
menjelaskan hukum terhadap suatu permasalahan (bayan hukm al-mas’alah). Dalam
pandangan ulama Maliki, ifta’ adalah menginformasikan tentang suatu hukum
syariat dengan cara yang tidak mengikat (al-ikhbar bi al-hukm al-shar‘i ‘ala
ghayr wajh al-ilzam).
Al-Qaradawi mendefinisikan ifta’
sebagai “menjelaskan hukum syariat tentang satu persoalan sebagai jawaban
terhadap pertanyaan seorang penanya, baik yang jelas maupun samar, individual
maupun kolektif” (bayan al-hukm al-shar‘i fi qadiyyah min al-qadaya jawaban ‘an
su’al sa’il mu‘ayyan kan aw mubham, fard aw jama‘ah).
2.
Istifta’
Sedangkan istifta’ secara Etimologi
ialah :
الْجَوَابُ
عَمَّا يُشْكِلُ مِنَ الأُمُوْرِ
“menyelesaikan setiap problem”
Menurut Hallaq, di dalam Alquran,
istilah istifta’ mengandung konotasi permohonan untuk memecahkan satu
persoalan yang di anggap rumit dan pelik.
Seperti firman Allah : yang artinya
Dan mereka minta fatwa
kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang mereka,” (Q.S. An-Nisa’ : 127)
maka dalam hemat kami, Istifta’
dapat juga diartikan sebagai pertanyaan (aktifitas permohonannya) untuk
memperoleh jawaban-jawaban (Fatwa) yang dikeluarkan sebagai respons terhadap
berbagai peristiwa dan kejadian yang dihadapi di dalam masyarakat baik secara
individual maupun kolektif. Sedangkan, Pihak yang meminta fatwa tersebut
disebut al-mustafi.
3.
Mufti
Sedangkan Mufti ialah pemberi Fatwa.
Namun, mufti tidak mengeluarkan fatwanya kecuali apabila diminta dan persoalan
yang diajukan kepadanya adalah persoalan yang bisa dijawabnya sesuai dengan
pengetahuannya. Oleh sebab itu, mufti dalam menghadapi suatu persoalan hukum
harus benar-benar mengetahui secara rinci kasus yang dipertanyakan,
mempertimbangkan kemaslahatan peminta fatwa, lingkungan yang mengitarinya,
serta tujuan yang ingin dicapai dari fatwa tersebut. Ini sesuai dengan kaidah
ushul fiqh: “akibat dari suatu fatwa lebih berat dari fatwa itu sendiri”.
Adapun orang yang pertama menjabat sebagai mufti di dalam islam ialah
Rasulullah Muhammad SAW. Beliau memberi fatwa terhadap segala permasalahan yang
timbul atau terjadi berdasarkan wahyu dari Allah swt. yang diturunkan beliau.
Kemudian untuk menjadi seorang mufti/menjabat sebagai mufti tidaklah mudah
dan tidak sembarangan orang,karena banyak syarat yg harus di penuhi dan harus
memiliki ilmu yang memadahi untuk menjadi seorang mufti.
B.
Syarat dan
Kewajiban Mufti
Dalam kitab Faroidu As Saniyyah
Syarat sebagai Mufti ialah :
1.
Mengetahui
ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum
2.
Mengetahui
Hadits yang berhubungan dengan hukum
3.
Mengetahui
Kaidah-kaidah fiqih
4.
Mengetahui
Cabang-cabang ilmu fiqih
5.
Mengetahui
Perselisihan Madzhab
6.
Mengetahui
Madzhab yang sudah ditetapkan
7.
Mengetahui
Ilmu Nahwu dan Shorof
8.
Mengetahui
Ilmu Bahasa
9.
Mengetahui
Ilmu Ushul
10. Mengetahui
Ilmu Ma’ani
11. Mengetahui
Ilmu Bayan
12. Mengetahui
Ilmu Tafsir
13. Mengetahui
Tingkah-tingkah rowi (Periwayat Hadits)
14. Mengetahui
Ketetapan dan Perselisihan
15. Mengetahui
Nasikh Mansukh
16. Mengetahui
Asbabun Nuzul.
Menurut pendapat Imam Ahmad bahwa
yang menjadi mufti hanyalah yang mempunyai lima perkara, yaitu :
1.
Mempunyai
niat dalam memberi fatwa, yakni mencari keridloan Allah semata. Karenanya
jangan memberi fatwa untuk mencari kekayaan ataupun kemegahan, atau karena
takut kepada penguasa
2.
Hendaknya
dia mempunyai ilmu, ketenangan , kewibawaan, dan dapat menahan kemarahan. Ilmu
sangat diperlukan dalam member fatwa. Orang yang memberi fatwa tanpa ilmu
berarti mencari siksa Allah.
3.
Hendaknya
mufti itu benar-benar orang yang menguasai Ilmunya, bukan seseorang yang lemah
ilmu.
4.
Hendaknya
seorang mufti memiliki kecukupan dalam bidang material bukan seseorang yang
memerlukan bantuan orang lain untuk penegak hidupnya.
5.
Hendaknya
mufti memiliki ilmu kemasyarakatan. Apabila tidak mengetahui keadaan
masyarakat, kemungkinan mufti tersebut menimbulkan kerusakan dengan
fatwa-fatwanya.
Ibnu Qayyim menambahkan bahwa
seorang mufti harusalah seorang yang alim dan benar serta bersifat jujur agar
dalam memberikan suatu fatwa adil dan jujur pula.
C.
Kedudukan
Ifta’ (Fatwa)
Kedudukan fatwa, sebagaimana
ditegaskan oleh An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, sangat
krusial dan mempunyai keistimewaan. Faktor otoritas ulama sebagai mufti dan
pewaris para nabi lebih memengaruhi kedudukan tersebut.
Disebutkan didalam kitab Al-Majmu’
tersebut “kalian harus mengerti bahwa fatwa/berfatwa itu adalah satu perkara
yang sangat berat dan besar bahayanya, tetapi ia mempunyai faedah yang besar
pula karena orang yang berfatwa itu bukan sembarang orang melainkan adalah
pewaris para nabi yang secara fardlu kifayah harus melaksanakan urusan itu”
Imam Asy-Syatibi menyatakan bahwa
mufti adalah penyambung lidah para Nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW. Untuk
menyampaikan perkara-perkara agama kepada umat di bumi ini.
بَلِّغُواعَنِّى
وَلَوْ ايَةً
“Hendaklah engkau menyampaikan
kepada mereka dariku sekalipun hanya satu ayat.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Ibnu Abidin menjelaskan bahwa orang
fasik tidak boleh diangkat menjadi mufti mengingat urusan fatwa adalah
urusan agama. Sedangkan orang fasik tidak boleh diterima keputusan-keputusannya
tentang agama. Fasik ialah orang yang tidak mau ta’at atau melanggar
ketetapan-ketetapan agama. Mereka yang dikenal fasik dengan sendirinya tak
memiliki otoritas mengeluarkan fatwa. Menurut sejumlah kalangan, bahkan mereka
yang terkenal fasik haram mengeluarkan fatwa. Kriteria seperti ini tampaknya
menjadi bukti kuat akan bobot fatwa yang dikeluarkan.
IV.
KESIMPULAN
Fatwa adalah pendapat atau keputusan
dari alim ulama atau ahli hukum Islam. dalam ilmu ushul fiqh, fatwa berarti
pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau fakih sebagai jawaban yang
diajukan peminta fatwa dalam satu kasus yang sifatnya tidak mengikat.
Istifta’ dapat juga diartikan
sebagai pertanyaan (aktifitas permohonannya) untuk memperoleh jawaban-jawaban
(Fatwa) yang dikeluarkan sebagai respons terhadap berbagai peristiwa dan
kejadian yang dihadapi di dalam masyarakat baik secara individual maupun
kolektif.
“Sedangkan Mufti ialah pemberi
Fatwa.”
Seorang mufti harusalah seorang yang
alim dan benar serta bersifat jujur agar dalam memberikan suatu fatwa adil dan
jujur pula.
Fasik ialah orang yang tidak mau
ta’at atau melanggar ketetapan-ketetapan agama.
Orang fasik tidak boleh diangkat
menjadi mufti mengingat urusan fatwa adalah urusan agama. Sedangkan
orang fasik tidak boleh diterima keputusan-keputusannya tentang agama.
Wallahu
a’lam bi showab....
DAFTAR PUSTAKA
Ali Bin Muhammad al-Jurjani, Kitab Al-Ta’rifat,
(Jeddah :Al-haromain)
Yusuf al-Qaradawi, al-Fatwa Bayn al-Indibat wa
al-Tasayyub (Kairo: Dar Sahwah li al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1988)
Khairul umam, ushul Fiqih II, (Bandung :
Pustaka Setia, 2001) Khairul umam, ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia,
2001)
Muhammad Sya’roni Ahmadi, Al faroidu As Saniyyah,
(kudus, 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar